....Selamat Datang Di Blog Wasbitnak, Menuju Wasbitnak Profesional ....Selamat Datang Di Blog Wasbitnak, Menuju Wasbitnak Profesional....

Selasa, 23 Juli 2013

Kembali ke Khitah


Menyusul terus berkecamuknya harga bahan kebutuhan pokok belakangan ini, pemerintah berencana merevisi tata niaga impor sejumlah komoditas pangan strategis. Yang pertama kali bakal terkena revisi adalah tata niaga impor daging sapi.
Dalam beberapa bulan terakhir, harga daging sapi memang tak henti bergejolak. Harga daging yang dulunya hanya Rp 46.000 per kg, kini melonjak menjadi sekitar Rp 90.000 per kg, bahkan pernah mencapai Rp 140.000 per kg. Itu pula yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) murka dan meminta para menteri terkait, terutama menteri pertanian dan menteri perdagangan, segera mengambil langkah-langkah stabilisasi.
Gejolak harga daging sapi melengkapi karut-marut kebijakan impor komoditas tersebut. Selama ini, 86 persen kebutuhan daging di pasar domestik dipenuhi dari para peternak lokal, sedangkan sisanya sebesar 14 persen dipenuhi dari impor. Pemerintah memberlakukan kuota impor yang setiap tahun direvisi sesuai kebutuhan. Tahun ini, pemerintah menetapkan kuota impor daging sebanyak 80.000 ton.
Menilik filosofinya, tak ada yang salah dengan mekanisme kuota impor daging. Kuota diperlukan agar daging impor tak mengganggu peternak lokal, dengan tetap menjamin pemenuhan kebutuhan konsumen di dalam negeri. Sepanjang mengacu pada kebutuhan daging di dalam negeri dan produksi sapi lokal, kuota impor perlu diberlakukan. Kuota juga dibutuhkan untuk memuluskan program swasembada daging.
Lalu, kenapa harga daging terus bergejolak? Ada dua versi yang selama ini mengemuka. Versipertama, pasokan daging sapi di pasar sudah sesuai kebutuhan. Dengan asumsi ini, lonjakan harga daging sapi terjadi karena spekulasi. Versi kedua, pasokan daging memang di bawah kebutuhan, di mana produksi peternak lokal dan impor tak sebanding dengan permintaan. Versi mana yang benar?
Jika kita berkaca pada berbagai persoalan yang mencuat selama ini, rasa-rasanya tak salah jika ada yang mengatakan bahwa gejolak harga daging sapi dipicu oleh dua hal sekaligus, yakni aksi para spekulan dan kurangnya pasokan. Dua faktor inilah yang telah menjadikan harga daging sapi –juga harga komoditas pangan lainnya- kerap gonjang-ganjing.
Masih segar dalam ingatan ketika Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bersilang pendapat soal perbedaan angka populasi sapi di Tanah Air. Belakangan, menko perekonomian dan menteri perdagangan (mendag) juga berbeda pandangan soal penyebab gejolak harga daging. Menko menyatakan lonjakan harga daging sapi terjadi karena spekulasi, sedangkan mendag menyebutnya karena kekurangan pasokan. Perbedaan data antarinstansi bukan sekali itu saja terjadi. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan adalah dua instansi yang paling sering berselisih paham soal data.
Berpijak pada fakta-fakta tersebut, kita semakin yakin ada yang salah dalam tata niaga impor daging. Perbedaan data mestinya tak terjadi jika Kemtan tak meninggalkan khitahnya sebagai instansi yang khusus mengurus produksi semata. Perbedaan data juga tak bakal meruncing jika Kemdag dikembalikan ke kodratnya sebagai instansi yang hanya mengurusi masalah perdagangan.
Yang terjadi selama ini adalah salah kaprah. Kemtan yang seharusnya hanya berkonsentrasi pada strategi swasembada, malah menjadi penentu impor daging. Lewat usulan Kemtan-lah impor daging selama ini dilakukan. Lewat Kemtan pula kuota impor diputuskan.
Sebaliknya, Kemdag yang di atas kertas tahu betul peta kebutuhan daging di dalam negeri, hanya bertugas memberikan persetujuan impor. Celakanya, Kemdag juga cenderung tidak kritis dan lebih banyak bersikap sebagai "tukang stempel".
Atas dasar itu, kita mendukung rencana revisi tata niaga impor daging. Namun, yang perlu ditekankan dalam revisi, bukan pada data produksi, konsumsi, dan kebutuhan impor, melainkan pada perubahan struktural tata niaga itu sendiri. Dengan kata lain, revisi tata niaga harus diikuti reposisi peran, tugas, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing kementerian.
Revisi tata niaga harus dilandasi semangat bahwa setiap kementerian sudah memiliki tugas hakiki masing-masing, tapi tugas itu selama ini tak berjalan sesuai kaidah. Sekaranglah saatnya tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kemtan, Kemdag, dan kementerian-kementerian lain dikembalikan atau didudukkan pada proporsinya. Kemtan harus dikembalikan ke tugas utamanya mengurus aspek produksi, sedangkan Kemdag harus fokus ke aspek perdagangan.

Spirit kembali ke khitah kementerian-kementerian strategis jangan hanya berlaku pada tata niaga impor daging semata, tapi juga pada tata niaga komoditas pangan lainnya. Itu jika kita ingin harga pangan terkendali, di mana petani dan konsumen sama-sama diuntungkan. Bukankah pemerintah juga ikut diuntungkan jika harga pangan tak terus berkecamuk? (BERITASATU.COM)

1 komentar: