Menyusul terus
berkecamuknya harga bahan kebutuhan pokok belakangan ini, pemerintah berencana
merevisi tata niaga impor sejumlah komoditas pangan strategis. Yang pertama kali
bakal terkena revisi adalah tata niaga impor daging sapi.
Dalam beberapa bulan
terakhir, harga daging sapi memang tak henti bergejolak. Harga daging yang
dulunya hanya Rp 46.000 per kg, kini melonjak menjadi sekitar Rp 90.000 per kg,
bahkan pernah mencapai Rp 140.000 per kg. Itu pula yang membuat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) murka dan meminta para menteri terkait, terutama
menteri pertanian dan menteri perdagangan, segera mengambil langkah-langkah
stabilisasi.
Gejolak harga daging sapi
melengkapi karut-marut kebijakan impor komoditas tersebut. Selama ini, 86
persen kebutuhan daging di pasar domestik dipenuhi dari para peternak lokal,
sedangkan sisanya sebesar 14 persen dipenuhi dari impor. Pemerintah
memberlakukan kuota impor yang setiap tahun direvisi sesuai kebutuhan. Tahun
ini, pemerintah menetapkan kuota impor daging sebanyak 80.000 ton.
Menilik filosofinya, tak
ada yang salah dengan mekanisme kuota impor daging. Kuota diperlukan agar
daging impor tak mengganggu peternak lokal, dengan tetap menjamin pemenuhan
kebutuhan konsumen di dalam negeri. Sepanjang mengacu pada kebutuhan daging di
dalam negeri dan produksi sapi lokal, kuota impor perlu diberlakukan. Kuota
juga dibutuhkan untuk memuluskan program swasembada daging.
Lalu, kenapa harga daging terus bergejolak? Ada dua versi yang selama ini
mengemuka. Versipertama, pasokan daging sapi di pasar sudah sesuai
kebutuhan. Dengan asumsi ini, lonjakan harga daging sapi terjadi karena
spekulasi. Versi kedua, pasokan daging memang di bawah kebutuhan,
di mana produksi peternak lokal dan impor tak sebanding dengan permintaan.
Versi mana yang benar?
Jika kita berkaca pada
berbagai persoalan yang mencuat selama ini, rasa-rasanya tak salah jika ada
yang mengatakan bahwa gejolak harga daging sapi dipicu oleh dua hal sekaligus,
yakni aksi para spekulan dan kurangnya pasokan. Dua faktor inilah yang telah
menjadikan harga daging sapi –juga harga komoditas pangan lainnya- kerap
gonjang-ganjing.
Masih segar dalam ingatan
ketika Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bersilang
pendapat soal perbedaan angka populasi sapi di Tanah Air. Belakangan, menko
perekonomian dan menteri perdagangan (mendag) juga berbeda pandangan soal
penyebab gejolak harga daging. Menko menyatakan lonjakan harga daging sapi
terjadi karena spekulasi, sedangkan mendag menyebutnya karena kekurangan
pasokan. Perbedaan data antarinstansi bukan sekali itu saja terjadi.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan adalah dua instansi yang
paling sering berselisih paham soal data.
Berpijak pada fakta-fakta
tersebut, kita semakin yakin ada yang salah dalam tata niaga impor daging.
Perbedaan data mestinya tak terjadi jika Kemtan tak meninggalkan khitahnya
sebagai instansi yang khusus mengurus produksi semata. Perbedaan data juga tak
bakal meruncing jika Kemdag dikembalikan ke kodratnya sebagai instansi yang
hanya mengurusi masalah perdagangan.
Yang terjadi selama ini
adalah salah kaprah. Kemtan yang seharusnya hanya berkonsentrasi pada strategi
swasembada, malah menjadi penentu impor daging. Lewat usulan Kemtan-lah impor
daging selama ini dilakukan. Lewat Kemtan pula kuota impor diputuskan.
Sebaliknya, Kemdag yang di
atas kertas tahu betul peta kebutuhan daging di dalam negeri, hanya bertugas
memberikan persetujuan impor. Celakanya, Kemdag juga cenderung tidak kritis dan
lebih banyak bersikap sebagai "tukang stempel".
Atas dasar itu, kita
mendukung rencana revisi tata niaga impor daging. Namun, yang perlu ditekankan
dalam revisi, bukan pada data produksi, konsumsi, dan kebutuhan impor,
melainkan pada perubahan struktural tata niaga itu sendiri. Dengan kata lain,
revisi tata niaga harus diikuti reposisi peran, tugas, kewajiban, dan tanggung
jawab masing-masing kementerian.
Revisi tata niaga harus
dilandasi semangat bahwa setiap kementerian sudah memiliki tugas hakiki
masing-masing, tapi tugas itu selama ini tak berjalan sesuai kaidah.
Sekaranglah saatnya tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kemtan, Kemdag, dan
kementerian-kementerian lain dikembalikan atau didudukkan pada proporsinya.
Kemtan harus dikembalikan ke tugas utamanya mengurus aspek produksi, sedangkan
Kemdag harus fokus ke aspek perdagangan.
Spirit kembali ke khitah
kementerian-kementerian strategis jangan hanya berlaku pada tata niaga impor
daging semata, tapi juga pada tata niaga komoditas pangan lainnya. Itu jika
kita ingin harga pangan terkendali, di mana petani dan konsumen sama-sama
diuntungkan. Bukankah pemerintah juga ikut diuntungkan jika harga pangan tak
terus berkecamuk? (BERITASATU.COM)
plesiran..
BalasHapus